Header Ads

The Untold Layers of Bulan’s Craft

Hidup Bulan Aulia Agate, jawara Barista Innovation Challenge 2021 tak selalu berbinar seperti cangkir kopi yang disajikan penuh senyum di kedai. Ia pernah berjalan tanpa arah, melangkah hanya untuk sekadar “ada,” tanpa tahu untuk apa sebenarnya ia berdiri di tengah keramaian dunia. Sampai akhirnya, secangkir kopi membuka sebuah pintu: pintu yang tak hanya membawanya kepada profesi, tetapi juga pada perjalanan mendefinisikan siapa dirinya.

Bulan Aulia Agate

“Dulu, aku suka bertanya-tanya. Orang lain punya passion, tapi aku sendiri? Apa aku punya passion? Apa aku punya bakat?” tanyanya pada diri sendiri di masa-masa mudanya. Sebuah tanya yang kemudian membawanya pada perjalanan panjang, dari seorang remaja yang bekerja di sebuah coffee shop jaringan internasional sekadar mencari uang, hingga menjadi seorang barista dengan mimpi besar.

HUDES | Worldwide Specialty Reading for Manual Coffee Brewers

Pada 2014, Bulan pertama kali menjejakkan kakinya di dunia kopi. Namun saat itu, kopi hanyalah pekerjaan, tidak lebih, tidak kurang. Ia mengenakan apron tanpa benar-benar mencintai apa yang ia lakukan. Baginya, itu hanyalah rutinitas. Bahkan setelah keluar dari sana, kopi tetap tak meninggalkan kesan berarti. Sampai suatu hari, seorang teman lama menghubunginya.

Bulan Aulia Agate | photo by Bulan doc.

“Temanku buka coffee shop di Sumedang, dekat rumahku. Dia minta aku jadi barista di sana,” kenangnya. Meski tak lagi bekerja di coffee shop jaringan internasional, ia menyadari bahwa sistem di coffee shop lokal sangat berbeda. Bukan hanya soal alat atau teknik, tetapi juga esensinya. “Di situ aku mulai training ulang, mulai memahami bahwa profesi barista itu sebenarnya seperti apa.”

Dari situ, perlahan namun pasti, rasa itu tumbuh. Tidak seperti cinta pada pandangan pertama, perasaan itu membutuhkan waktu. Tapi ketika akhirnya ia mengakar, Bulan tahu, ia tak bisa lagi menoleh ke belakang.

Puncak perjalanan Bulan dimulai dari sebuah kompetisi. Ia tak pernah berpikir akan menjadi bagian dari panggung kopi, bersaing dengan para senior dan pemain lama yang sudah lebih dulu menguasai panggung tersebut. Namun, seperti sebuah kebetulan yang direncanakan, coffee shop tempatnya bekerja mengirimnya mengikuti kelas sensori sebagai persiapan kompetisi.

“Di sana aku sadar, ternyata aku bisa. Aku bahkan juara tiga,” ujarnya, mengenang pengalaman pertamanya di kompetisi. Bukan kemenangan yang menjadi sorotan utamanya, melainkan pelajaran yang ia dapatkan di sepanjang jalan.

Kompetisi itu seperti tamparan halus yang membangunkan Bulan dari tidur panjang. Ia mulai serius mendalami dunia kopi, bahkan rela bolak-balik Bandung-Sumedang hanya untuk belajar teknik pour over. “Aku PP Sumedang-Bandung cuma untuk ngulik air. Pulang ngebar, lanjut belajar lagi. Tapi rasanya nggak capek, karena aku benar-benar sudah suka.”

Namun, kemenangan justru menjadi ketakutan baginya. “Yang aku takutkan bukan kalah, tapi menang. Karena jadi juara itu beban. Bagaimana caranya kita bisa jadi champion yang memberi manfaat buat orang lain?” katanya, dengan suara penuh kejujuran.

Kopi yang Berbicara Lewat Hati

Bagi Bulan, kopi bukan hanya soal rasa atau teknik. Lebih dari itu, kopi adalah cermin hati. “Barista sering lupa membawa hati saat menyeduh. Padahal kalau hati kita berantakan, hasil seduhannya juga nggak akan oke,” katanya. Prinsip ini ia pegang teguh dalam setiap kelas atau workshop yang ia isi.

Ia percaya, kopi bukan sekadar minuman. Secangkir kopi adalah jembatan, media komunikasi antara barista dan mereka yang duduk di meja kafe. Setiap kali menyeduh, ia berharap kopi yang ia buat bisa menjadi pembuka percakapan, bukan sekadar teman ponsel atau keheningan.

“Buatku, kopi itu seperti hidup. Pahit, tapi bisa dinikmati. Dan selalu ada cara untuk mengatasi kepahitan itu,” katanya dengan lirih, seolah mengingat kembali perjalanan panjangnya hingga hari ini.

Saat pandemi melanda, dunia berhenti. Begitu pula langkah Bulan. Namun, di tengah kebuntuan itu, ia menemukan media sosial sebagai pelarian. Awalnya hanya membuat konten sederhana tentang coffee mocktail, menu yang sedang di-highlight tempat kerjanya, Bulan tak menyangka respons positif dari publik akan sebesar itu.

“Dari situ aku mulai konsisten bikin konten. Aku diajak keliling Indonesia, diundang ke acara-acara kopi. Impact-nya besar banget,” katanya dengan penuh syukur.

Media sosial juga membawanya pada perspektif baru tentang dunia kopi. Ia melihat bagaimana Indonesia kini menjadi perhatian dunia, terutama setelah World of Coffee tahun lalu. “Indonesia punya peluang besar. Bukan cuma champion-nya, tapi kopi dari kebun-kebun kita juga layak dicoba,” ujar Bulan dengan penuh harap.

Sebuah Harapan untuk Dunia Kopi

Di akhir wawancara, Bulan menyampaikan harapannya dengan nada tenang. Ia berharap Indonesia semakin dikenal sebagai penghasil kopi berkualitas. Ia berharap para petani dan roaster di tanah air bisa memanfaatkan momentum ini untuk membawa kopi lokal bersaing di kancah internasional.

Namun di balik semua harapan itu, Bulan tetap memegang satu prinsip sederhana: “Aku ingin setiap kopi yang aku buat bisa jadi cerita, jadi jembatan. Bukan cuma untuk aku, tapi juga untuk orang lain. Karena kopi itu punya cara sendiri untuk bicara, selama kita mau mendengarkan.”

Bulan Aulia Agate mungkin tak pernah membayangkan, langkah tanpa arah di 2014 akan membawanya ke titik ini. Tapi seperti cangkir kopi yang ia sajikan, perjalanan hidupnya pun penuh rasa: pahit, manis, dan sedikit asam. Sebuah perpaduan yang tak sempurna, tetapi justru itulah yang membuatnya indah. (hudes)

No comments

close
pop up banner